Baitullah : Rindu yang tak pernah padam

Baitullah : Rindu yang tak pernah padam
Baitullah : Rindu yang tak akan padam hingga ke akhirku...

Sunday, February 19, 2012

Hukum Memberi Salam Antara Lelaki Wanita


Oleh: Badrul Tamam
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarga, dan para sahabatnya.
Dalam pergaulan antara sesama muslim ada adab dan hak-hak yang wajib untuk dijaga. Seorang muslim harus melazimi dan menunaikan adab dan hak tersebut kepada saudara muslimnya yang lain. Dalam menunaikannya harus disertai kayakinan bahwa itu bagian dari ibadah kepada Allah Ta’ala. Karena Allah telah memerintahkan hak-hak dan adab tersebut kepada seorang muslim untuk dipraktekkan terhadap saudara muslimnya, maka melaksanakannya termasuk bagian dari ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Di antara hak-hak dan adab tersebut adalah mengucapkan salam kepada saudara muslim. Mengucapkan salam ini disyariatkan saat bertemu dan berpisah, saat hadir dalam majelis dan saat meninggalkannya, serta beberapa kondisi lainnya.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
إِذَا انْتَهَى أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَجْلِسِ فَلْيُسَلِّمْ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَقُومَ فَلْيُسَلِّمْ فَلَيْسَتْ الْأُولَى بِأَحَقَّ مِنْ الْآخِرَةِ
Apabila salah seorang kalian sampai di suatu majlis hendaklah memberikan salam. Dan apabila hendak keluar, hendaklah memberikan salam. Dan tidaklah (salam) yang pertama lebih berhak daripada (salam) yang kedua.” (HR. Abu Daud dan al-Tirmidzi serta yang lainnya dan Syaikh Al-Albani mengatakan: Hasan shahih).” Maknanya, kedua-duanya adalah benar dan sunnah.
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'Anhu berkata, aku mendengar Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ : إذَا لَقِيته فَسَلِّمْ عَلَيْهِ ، وَإِذَا دَعَاك فَأَجِبْهُ
Hak muslim atas muslim lainnya ada enam: apabila engkau bertemu dengannya maka ucapkan salam, apabila dia mengundangmu maka penuhilah undangannya, . . . .” (HR. Muslim)

Salam Laki-laki Kepada Kaum Wanita dan Sebaliknya
Anjuran untuk mengucapkan salam kepada sesama muslim tidak berlaku bagi sesama jenis saja, tapi juga kepada lawan jenis. Karena syariat Islam ditujukan kepada kaum wanita dan laki-laki, kecuali ada dalil yang menghususkannya bagi kenis kelamin tertentu. Hanya saja dalam mengucapkan salam kepada lawan jenis harus terpenuhi syaratnya, yaitu aman dari fitnah. Karenanya, jika ditakutkan akan menimbulkan fitnah maka tidak dianjurkan.
Al-Hafidz Ibnul Hajar dalam Fathul Baari mengomentari babTaslim al-Rijal ‘alaal-Nisa’ wa al-Nisa’ ‘ala al-Rijal (Bab salamnya kaum lelaki kepada kaum perempuan dan kaum perempuan kepada kaum lelaki), bahwa Imam al-Bukhari seolah mengisyaratkan dalam bab ini membantah riwayat maqthu’ (berhenti pada tabi’in) dan mu’dhal (salah satu jenis hadits dha'if) yang dikeluarkan oleh Abdurrazaq dari Ma’mar, dari Yahya bin Abi Katsir yang berisi makruhnya kaum lelaki mengucapkan salam kepada kaum wanita dan sebaliknya. Kemudian Ibnul Hajar menjelaskan bahwa maksud dari bolehnya ini (kaum lelaki mengucapkan salam kepada kaum wanita dan sebaliknya) ketika aman dari fitnah.
Ibnul Hajar rahimahullah juga menukil ucapan Ibnu Bathal dari al-Muhallab, “Salamnya kaum lelaki kepada kaum perempuan dan kaum perempuan kepada kaum lelaki boleh, apabila aman dari fitnah.”
Bahkan kalau dalam majlis berkumpul kaum laki-laki dan wanita maka boleh mengucapkan salam dari dua sisi, demikian yang terdapat dalam Fathul Baari.
Maka siapa yang yakin dirinya aman dari fitnah, lebih baik dia mengucapkan salam. Sebaliknya, siapa yang takut akan menimbulkan fitnah, maka diam itu yang lebih baik dan lebih selamat (dari ucapan al-Halimi dalam Fathul Baari).
Berikut ini kamu sebutkan beberapa dalil yang menunjukkan bolehnya mengucapkan salam laki-laki terhadap wanita dan sebaliknya, selama aman dari fitnah:
A. Salam Laki-laki Kepada Kaum Wanita

Dalil pertama: Dari Abu Hazim, dari Sahal berkata:
قَالَ كُنَّا نَفْرَحُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ قُلْتُ وَلِمَ قَالَ كَانَتْ لَنَا عَجُوزٌ تُرْسِلُ إِلَى بُضَاعَةَ قَالَ ابْنُ مَسْلَمَةَ نَخْلٍ بِالْمَدِينَةِ فَتَأْخُذُ مِنْ أُصُولِ السِّلْقِ فَتَطْرَحُهُ فِي قِدْرٍ وَتُكَرْكِرُ حَبَّاتٍ مِنْ شَعِيرٍ فَإِذَا صَلَّيْنَا الْجُمُعَةَ انْصَرَفْنَا وَنُسَلِّمُ عَلَيْهَا فَتُقَدِّمُهُ إِلَيْنَا فَنَفْرَحُ مِنْ أَجْلِهِ وَمَا كُنَّا نَقِيلُ وَلَا نَتَغَدَّى إِلَّا بَعْدَ الْجُمُعَةِ
Kami sangat gembira bila tiba hari Jum’at.” Saya (Abu Hazim) bertanya kepada Sahal: “Mengapa demikian?” Jawabnya:  “Ada seorang nenek tua yang pergi ke budha’ah -sebuah kebun di Madinah- untuk mengambil ubi dan memasaknya di sebuah periuk dan juga membuat adonan dari biji gandum. Apabila kami selesai shalat Jum’at, kami pergi dan mengucapkan salam padanya lalu dia akan menyuguhkan (makanan tersebut) untuk kami. Itulah sebabnya kami sangat gembira. Tidaklah kami tidur siang dan makan siang kecuali setelah jumat.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalil kedua: Dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'Anha berkata, RasulullahShallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda;
يَا عَائِشَةُ هَذَا جِبْرِيلُ يَقْرَأُ عَلَيْكِ السَّلَامَ قَالَتْ قُلْتُ وَعَلَيْهِ السَّلَامُ وَرَحْمَةُ اللَّهِ تَرَى مَا لَا نَرَى
Wahai Aisyah, ini adalah Jibril menyampaikan salam kepadamu.” Aisyah menjawab, “Aku mengatakan: Wa’alaihis Salam Warahmatullah. Engkau (Rasulullah) melihat apa yang tidak aku lihat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Maknanya bukan berarti malaikat adalah laki-laki, tetapi Allah menyebutkannya dengan laki-laki hanya sebagai sebutan. Dan dijadikannya hadits ini sebagai dalil bolehnya seorang laki-laki mengucapkan salam kepada kaum wanita karena saat itu Jibril datang kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dalam bentuk seorang laki-laki.

Dalil ketiga:
أَسْمَاءُ بِنْتُ يَزِيدَ قَالَتْ مَرَّ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نِسْوَةٍ فَسَلَّمَ عَلَيْنَا
“Dari Asma’ binti Yazid al-Anshariyah radhiyallahu 'anha, berkata: ‘Pernah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melewati kami, kaum wanita lalu beliau mengucapkan salam kepada kami.” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah, Darimi dan Ahmad. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Ibni Majah no. 3701)

Dalil keempat: Dari hadits Kuraib, maula Ibni Abbas menceritakan, bahwa Abdullah bin Abbas, Abdur Rahman bin Azhar dan Miswar bin Makhramah pernah mengutusnya kepada Aisyah, istri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Mereka berkata,
اقْرَأْ عَلَيْهَا السَّلَامَ مِنَّا جَمِيعًا وَسَلْهَا عَنْ الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعَصْرِ
Sampaikan salam dari kami semua kepadanya, dan tanyakan tentang dua rakaat sesudah shalat ‘Ashar.” (HR. Bukhari dan Muslim)
  • Jadi sangat jelas dari keempat dalil yang disebutkan bahwa dibolehkan kaum lelaki mengucapkan salam kepada kaum wanita.
B. Salam Wanita Kepada Laki-laki

Dalil pertama: Dari Abu Murrah, maula Ummi Hani’ binti Abu Thalib mengabarkan bahwa ia pernah mendengar Ummi Hani’ mengatakan,
ذَهَبْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْفَتْحِ فَوَجَدْتُهُ يَغْتَسِلُ وَفَاطِمَةُ ابْنَتُهُ تَسْتُرُهُ بِثَوْبٍ فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ فَقَالَ مَنْ هَذِهِ فَقُلْتُ أَنَا أُمُّ هَانِئٍ بِنْتُ أَبِي طَالِبٍ فَقَالَ مَرْحَبًا بِأُمِّ هَانِئٍ
“Aku pernah datang menemui Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallamsaat Fathu Makkah, aku mendapatinya sedang mandi sedangkan Fatimah putri beliau menutupinya dengan kain. Lalu aku mengucapkan salam kepada beliau. Beliau bersabda: “Siapa di situ?” Aku menjawab, “Ummu Hani' anak perempuan Abu Thalib.” Beliau menyahut, “Selamat datang wahai Ummu Hani'!” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ummu Hani’ merupakan saudara sepupu Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, dan bukan bagian dari mahram beliau. Dia mengucapkan salam kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallamdan beliau tidak mengingkarinya, yang berarti menyetujuinya yang menunjukkan bolehnya tindakan tersebut. Wallahu a’lam.

Dalil Kedua: Dari al-Hasan al-Bashri berkata,
كُنَّ النِّسَاءُ يُسَلِّمْنَ عَلَى الرِّجَالِ
Zaman dahulu (yakni zaman sahabat), para wanita mengucapkan salam kepada kaum laki-laki.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad dengan sanad hasan)
Dari kedua dalil di atas sangat jelas menunjukkan bahwa kaum wanita mengucapkan salam kepada kaum laki-laki telah ada dan terjadi pada zaman Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan para sahabat. Karenanya, berdasarkan keumumannya dibolehkan. Namun disyaratkan aman dari fitnah dan tidak menimbulkan kerusakan. Karena syariat datang untuk mewujudkan mashalih (kebaikan) bagi umat manusia dan menghilangkan segala kemudharatan.
Berdasarkan dari dalil-dalil di atas sangat jelas bahwa mengucapkan salam kepada lawan jenis tidak apa-apa, dibolehkan. Dengan syarat aman dari fitnah.
Kesimpulan
Berdasarkan dari dalil-dalil di atas, mengucapkan salam kepada lawan jenis tidak apa-apa, dibolehkan. Dengan syarat aman dari fitnah. Karena syariat datang untuk mewujudkan mashlahat dan menghilangkan mudharat. Oleh sebab itu ada sebagian ulama, seperti Madzab Malikiyah membedakan antara salam kepada wanita tua dan yang masih muda. Kalau kepada yang sudah tua dibolehkan karena tidak akan menimbulkan fitnah, dan kepada yang masih muda melarangnya sebagai tindakan prefentif terhadap fitnah.
Al-Mutawalli –sebagaimana yang dinukil oleh Ibnul Hajar dalam syarah hadits salam Jibril kepada 'Aisyah di atas- menukilkan jika wanitanya cantik sehingga dikhawatirkan timbul fitnah darinya maka tidak disyariatkan mengucapkan salam, baik untuk memulai atau menjawab. Kalau salah seorang dari laki-laki atau wanita seperti itu mengucapkan salam, maka yang lain tidak dianjurkan menjawabnya. Jika wanitanya sudah tua dan diperkirakan tidak menimbulkan fitnah maka dibolehkan. Begitu juga jika berkumpul kaum laki-laki dan wanita dalam satu majlis maka dibolehkan untuk mengucapkan salam dari salah satu kelompok selama aman dari fitnah. Yang pada intinya harus tetap memperhatikan kaidah fiqih,
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ
"Membendung kerusakan lebih utama daripada mendapatkan kemaslahatan." (Lihat Shahih Adab Mufrad hal.398-399 karya Al-Albani). Wallahu Ta’ala a’lam. [PurWD/voa-islam.com]

Thursday, February 16, 2012

Pandanglah Dengan Mata Tawwadhuk



IMAM AL GHAZALI rahimahullah memberi nasihat agar kita jangan sampai melihat diri kita lebih baik. Karena kebaikan yang hakiki adalah dari penilaian Allah di akhirat kelak dan itu masalah ghaib. Hal itu juga tergantung dengan keadaan bagaimana keadaan kita waktu meninggal.

Sebab itu, Imam Al Ghazali pun menyampaikan agar kita memandang pihak lain dengan kacamata tawadhu’,”Jika engkau melihat anak kecil, katakanlah dalam hatimu, 'Ia belum pernah bermaksiat kepada Allah. Sedangkan aku telah bermaksiat. Tidak diragukan lagi bahwa ia lebih baik dariku.' Jika engkau melihat orang yang lebih tua katakanlah,’Orang ini telah beribadah sebelum aku melakukannya. Tidak diragukan lagi bahwa ia lebih baik dariku.’ Jika melihat orang alim (pandai), katakan,’Orang ini telah memperoleh apa yang belum aku peroleh. Maka, bagaimana aku setara dengannya.’Jika dia bodoh, katakan dalam hatimu,’Orang ini bermaksiat dalam kebodohan, sedangkan aku bermaksiat dalam keadaan tahu. Maka, hujjah Allah terhadap diriku lebih kuat, dan aku tidak tahu bagaimana akhir hidupnya dan akhir hidupku.’ Jika orang itu kafir, katakan,’Aku tidak tahu, bisa saja dia menjadi Muslim dan akhir hidupnya ditututup dengan amalan yang baik dan dengan keislamannya dosanya diampuni. Sedangkan aku, dan aku berlindung kepada Allah dari hal ini, bisa saja Allah menyesatkanku, hingga aku kufur dan menutup usia dengan amalan keburukan. Sehingga ia kelak termasuk mereka yang dekat dengan rahmat sedangkan aku jauh darinya.’” (Maraqi Al Ubudiyah, hal.79)/Hidayatullah.com

Saturday, February 11, 2012

Rilek Jap. Lawak Punya Akad Nikah



kepada  bakal-bakal suami...praktis dulu banyak2 . Jgan sampai jadi lawak macam dalam video tu...hehehehe

Wednesday, February 8, 2012

Di Saat Ini Bashar Al Assad lah Yang Paling Ku Benci

Keganasan terbaru di Homs Syria menyaksikan 50 rakyat yang tidak berdosa, termasuk bayi, wanita dan kanak-kanak terkorban dalam serangan berterusan selama lebih kurang 10 hari oleh tentera kerajaan. Tentera pro kerajaan Bashar berjaya mengepung bandar Homs, tumpuan kumpulan pemberontak dengan bertindak kejam membuat serangan balas terhadap pemberontakan tanpa henti-henti. Baca di sini. dan sini .
 Semoga nasib Bashar sama seperti Muammar Ghadaffi. Ayuh ramai2 Jumaat ini ke kedutaan Syria menyertai demo aman menentang keganasan Bashar Al Assad.


Saturday, February 4, 2012

Muhammad Manusia Agung


Muhammad (SAW) Ibn Abdullah adalah Rasul dan Nabi Pilihan. Rasul Terakhir kepada manusia ini merupakan ciptaan Allah yang Maha Agung.Kehebatan Muhammad (SAW) terserlah dalam semua semua aspek, suatu yang tidak perlu dipertikaikan. Baginda dipilih di kalangan manusia kerana baginda adalah Nabi dari segi teori dan praktikal kehidupan manusia dalam segenap kehidupan. Adab akhlaknya dibentuk dan diprogramkan sempurna sebagai makhluk oleh Allah Taala dari kecil sehinggalah ke tempoh kewafatannya.

Baginda adalah nabi yang berkahwin, makan, minum dan tinggal di kediamannya. Namun kadar yang dinikmati oleh Rasulullah SAW adalah kadar paling sederhana dan berhemat yang menunjukkan gaya hidup dan kondisi pemimpin yang dihormati bukan kerana kemewahannya untuk diri tetapi banyak disumbangkan untuk keperluan dan kepentingan ummat, sekaligus keluarga dan para sahabatnya.


Baginda memulakan hidup berkelamin di usia 25 tahun dan mengamalkan monogami selama 27 tahun bersama wanita yang paling mulia yang dicintainya sepenuh hati iaitulah Ummul Mukminin, Saiyidatina Khadijah r.a.  Setelah kewafatan Khadijah, dan baginda saw berhijrah, baginda beristeri dengan beberapa orang wanita yang kemudiannya digelar Ummahatul Mukminin.

Terpanggil dengan kontroversi terbaru oleh OWC tentang penonjolan Rasulullah saw sebagai “Ikon Seks Suci”,  saya merasa amat prihatin untuk mengulas dengan pendidikan berumahtangga yang disaran oleh Rasulullah saw. Mengapa ada yang tergamak untuk meletak  slogan dan label sedemikian? Adakah dengan tidak memberikan anugerah ini berkurangnya kehebatan Rasulullah saw dari aspek perkahwinan? Apa justifikasi mereka untuk berkata demikian?

Banyak sudut yang boleh diulas dengan Qudwah (Contoh) Rasulullah saw dlm memimpin isteri-isteri dan anak menantunya. Pelbagai etika dan adab yang perlu diikuti oleh orang yang telah ditakdirkan sampai jodoh dan ada yang menjalani kehidupan berkeluarga sebagai anak dan adik beradik. 

Kita pada hari ini walaupun hanya memiliki dan melayan seorang isteripun GAGAL untuk solat sunat dan puasa sunat. Puasa wajib pun sekadar cukup tinggal makan minum sahaja. Kita sering alpa dan tidak ada kekuatan untuk bangun bertahajjud dan qiyamullail. Kita jarang bahkan mungkin tidak pernah berkhulwah selama sebulan. Kita tidak rajin untuk bertaddarus dan beriktikaf 10 akhir Ramadhan.

Kita culas untuk solat berjamaah apatah lagi memimpin solat setiap waktu dan selalu tidak upaya lekat wudhu'. Kita tidak pernah dapat aduan ada suami hari ini yang solat sehingga bengkak kakinya dan yang bersedekah sehingga dia dan keluarganya tidak punya apa untuk dimakan. Kita juga makan daging dan lauk sehingga kini sering sakit dengan pelbagai macam penyakit kerana terlebih makan!

Nah, Nabi saw berpesan bahawa antara ciri solehahnya isteri itu bilamana dia amanah dalam merahsiakan hal ehwal dalaman dan tempat tidur suaminya. Soal hubungan kelamin tidak pernah menjadi tajuk awam dalam perbicaraan Rasulullah saw kerana baginda memuliakan perkahwinan dan soal intimasi suami isteri adalah hak peribadi yang dilindungi dan difahami.

Majoriti hadith berkait dengan soal kekeluargaan menyentuh santunnya Rasulullah saw melayan anak isterinya dalam semua tahap dan keadaan. Sabarnya ketika meleraikan konflik isteri kesayangan, Aisyah r.a yang difitnah jijik. Psikologi dan diplomasi baginda ketika mendamaikan isteri-isteri akibat cemburu merebut kasih sayangnya.
Hebatnya isteri kerana bukan setakat boleh berkorban makan tapi berkorban giliran. Giliran bersama isteri juga banyak dihabiskan dengan mereka turut serta dalam medan peperangan dan dakwah.

Hadith yang diriwayatkan oleh Aisyah ra.,Maimunah r.a, Hafsah r.a, Juwairiyyah r.a,Sofiyyah r.a dan Ummu Salamah semuanya menjurus ke arah tegarnya komitmen Rasulullah saw terhadap ibadat dalam kehidupan malamnya. Tidak berbuat apapun baginda saw melainkan ianya atas tujuan ibadat hatta untuk bersama isterinya.
Baginda saw berjaya mendidik isteri-isterinya yang baru memeluk Islam untuk turut berqiyamullail dan beriktikaf bersamanya. Ada baiknya untuk kita ketahui bahawa bila beramal seumpama itu di waktu malam ianya mesti dalam keadaan berwudhu' dan tak pernah alpa dan asyik dengan aktiviti badaniah dan seksual yang boleh memenatkan dan merencatkan amalan qiyamullail akibat keletihan.

Makanan ruji dan sajian  Rasulullah saw adalah amat ringkas dan mudah. Baginda tidak mengambil vitamin dan pelbagai “pil penguat” kerana Islam mengajar hubungan suami isteri di bilik tidur adalah sebahagian proses untuk mendapatkan zuriat yang soleh bukan atas landasan melampiaskan nafsu yang sentiasa berkobar. Klimaks kemesraan dan kemanjaan bertempat dan sahih serta terhormat antara lelaki dan wanita menyebabkan semua sahabat berlumba untuk berkahwin.
Banyak masa siangnya dihabiskan di luar rumah sebagai “hablun minannas” dan masa malamnya digunakan untuk mengabdi diri dengan meningkatkan hubungan “hablun minaLlah”

Jadi, adalah kurang molek dan mencemar fokus kalau ketaatan isteri dan kecintaan suami itu ditumpukan pada aspek seksual yang lebih bersifat fizikal dan sementara.

Mengatur dan meletakkan had dan aras dalam hubungan kelamin adalah wajar dan perlu dalam Islam kerana andai tidak dijelaskan manusia mungkin meniru gaya dan kekerapan binatang dan haiwan dalam melakukan hubungan jenis. Seks adalah perkara fitrah tetapi ia harus dipupuk supaya ia menjadi hubungan suci lagi murni bukan keperluan hakiki yang wajib dinikmati setiap ketika atas alasan kerana telah bernikah.

Suami isteri yang tua lagi uzur, mereka masih mempunyai cukup ruang untuk meluahkan kasih sayang dengan sifat mawaddah, ihsan dan rahmah sehingga wujud sakinah dalam rumahtangga dan kehidupan. Organ seks bukanlah kemuncak alat dalam kehidupan yang perlu diagungkan dan manusia yang tidak memilikinya serta menikmatinya dianggap kurang dan tidak sempurna!

Manusia itu sempurna dengan minda, badan, emosi dan spiritual yang sihat dan cerdas. Nabi Isa a.s dan ibunya maryam tidak pernah berkahwin tetapi terbukti mereka masing-masing adalah Rasul Ulul Azmi dan antara 4 perempuan yang paling mulia dalam Islam. Mereka tetap Idola kita sebagai umat Islam. Imam Nawawi juga tidak sempat berkahwin tetapi hadith arbain susunannya tetap unggul dan bermakna untuk kelangsungan ummah.


Berkahwin adalah sunnah Rasulullah saw dan menjalani dan mengurus isteri dan rumahtangga adalah cabaran besar dan rutin yang menuntut ilmu dan hikmah sepanjang masa bukan hanya seks. Aktiviti seks mungkin memakan tempoh 30 minit dalam seminggu atau dalam tempoh 3 bulan jadi adalah tidak munasabah kalau ukuran kehebatan Islam itu diukur dan dilabel dengan fokus itu dan ke situ! Seolah kita juga kini terjerumus dan menjerumuskan masyarakat ke dalam minda “hanya kepuasan seks” segala-galanya.

24 jam bersama suami dan 30 tahun berumahtangga memerlukan kesyumulan contoh dari Rasulullah saw melayari kehidupan. Bukan terhenti atau terikat dengan aktiviti seksual semata. Rasulullah saw diangkat menjadi nabi ketika usianya menjangkau 40 tahun dan mempunyai had masa 23 tahun untuk menyampaikan dan menyempurnakan keseluruhan aspek sosial,politik dan ekonomi Islam yang diwariskan kepada ummat sehingga qiamat.

Piawaian lelaki dan manusia terbaik di kalangan semua ummat adalah lelaki yang paling baik layanan dan penghormatan kepada isteri dan keluarganya. Islam bukan agama hipokrit dan bermotif dengan menyayangi isteri dan anak  kerana pulangan khidmat dan balasan seksual dan fizikal tetapi kerana itu adalah hak dan hudud yang ditetapkan oleh Allah swt.

Rasulullah saw pengangkat martabat wanita dan lelaki serta anak-anak dengan setinggi-tingginya dengan penganugerahan hak layanan, penghormatan nasab, harta,nafkah dan pusaka dengan sepatah kata "aku terima nikahnya".
Saya yakin dan saya percaya ramai lagi di luar sana yang menyanjung dan ingin mengamalkan sunnah kehidupan berkeluarga Rasulullah saw yang syumul dan lebih banyak dibuat oleh baginda di luar bilik tidur.

Maka, marilah kita  berselawat ke  atas  junjungan  besar  Rasulullah  saw   kerana kemuliaannya , jasa pengorbanannya dan sopannya menghargai wanita dan keluarga sebagai manusia yang punya hak dan kemahuan bukan objek seks sebagaimana kefahaman barat mengenai wanita. Janganlah kita terperangkap dan terjerat oleh kehendak dan fahaman mereka mengenai rumahtangga dan perkahwinan.
Berkahwin itu adalah proses yang lebih mulia dan jangka panjang untuk ummah sifatnya dan antara dua keluarga dan masyarakat bukan berobjektifkan ketaatan fizikal individu dan penyerahan tubuh semata mata.
Percayalah, apapun aktiviti kita semuanya adalah untuk beribadah dan menggambarkan kehambaan kita kepada yang Maha Pencipta.

Allahumma solli 'ala Muhammad wa 'ala alihi wasahbihi ajmain.


MUMTAZ MD. NAWI
Naib Ketua Dewan Muslimat PAS Pusat
Pengamal Undang-Undang Sivil dan Syarie



Allahumma Solli 'Ala Muhammad : Salam Maulidur Rasul


Assalamualaikum. Allahumma solli 'ala Muhammad wa 'ala aali wasohbihi wa sallim.
"Sesungguhnya Allah dan MalaikatNya bersalawat (memberi segala penghormatan dan kebaikan) kepada Nabi (Muhammad S.A.W); wahai orang-orang yang beriman bersalawatlah kamu kepadanya serta ucapkanlah salam sejahtera dengan penghormatan yang sepenuhnya" (Surah Al Ahzab:56)

Salawat Allah ke atas Nabi Muhammad bukan dengan kata-kata seperti yang kita menyebut dalam ungkapan selawat yang terkenal. Salawat Allah ke atasnya bermaksud Allah Taala sentiasa memberikan kepadanya kebaikan dan kerahmatan daripada hidupnya hingga wafatnya dan sehingga pada hari-hari Baginda hidup dalam alam barzakh hinggalah ke hari kiamat. Inilah yang disebutkan dalam kitab Tafsir Al Qurtubi, juzuk 14, halaman 222 yang bermaksud, "Salawat daripada Allah adalah turunnya rahmat Allah dan keredaanNya kepada Nabi Muhammad sepanjang masa".

Salawat daripada Para Malaikat bermaksud, "Para Malaikat sentiasa berdoa kepada Allah untuk kebaikan dan keampunan Nabi Muhammad S.A.W sepanjang zaman serta meredhainya. Ada pun salawat umat (kita) Muhammad kepada Baginda Nabi S.A.W adalah dengan menyebut salawat yang terkenal itu, yang di dalamnya mengandungi doa kepada Allah, agar Allah menurunkan rahmat dan kesejahteraannya kepada Baginda. Kita juga memohon agar Allah membesarkan dan memuliakan Nabi Muhammad sepanjang masa". 

Dari tiga perbezaan jelas bahawa istilah salawat itu begitu unik. Ia boleh dipakai untuk tiga situasi yang berbeza. Pertama Allah. Kedua, malaikat dan ketiga, umat manusia. Yang penting kita menghayati dan memahami bahawa Rasulullah S.A.W itu makhluk istimewa pilihan Allah, yang Allah sendiri menjanjikan bahawa Allah sentiasa mencurahkan rahmat kepada Baginda, hari hidupnya, ke alam kuburnya sehinggalah ke hari akhirat. Malah Para Malaikat seluruhnya sentiasa memohon kepada Allah agar dilimpahkan rahmat dan keampunanNya kepada Rasulullah S.A.W. Di hujung ayat tersebut, selepas Allah dan malaikat berselawat ke atas Nabi Muhammad, maka Allah menyeru kita, orang-orang beriman supaya mengucapkan selawat dan salam yang makruf. 

Rasulullah S.A.W bersabda (mafhumnya), "Sesiapa yang bersalawat ke atasku satu selawat, maka Allah merahmatinya dengan 10 rahmat".
Oleh kerana itu, ulama dalam memperhalusi persoalan selawat ke atas Nabi Muhammad itu wajib atau sunat, tidak berlaku khilaf (perselisihan) daripada kalangan ulama, bahawa salawat ke atas Nabi Muhammad adalah wajib, sekurang-kurangnya sekali seumur hidup. Dalam hidup seharian, bersalawat adalah sunat muakkad.

Sa'id Ibnu Musayyid meriwayatkan daripada Umar Al Khattab, beliau berkata, "Doa hamba kepada Allah tidak diangkat apabila tidak disebut selawat ke atas Nabi dalam doa itu. Apabila disebut salawat, barulah diangkat doa tersebut. Dan sesiapa yang menulis salawat ke atas Nabi dalam mana-mana penulisan (kitabnya), maka malaikat-malaikat terus bersalawat ke atas Nabi dan selama penulisannya itu kekal, maka selama itulah malaikat-malaikat mendoakan rahmat ke atasnya". Demikian hebatnya salawat ke atas Nabi Muhammad S.A.W. Wallahua'lam.- ust Harun Din Al Hafiz

Friday, February 3, 2012

Biar Aku Ke Medan Perang


“Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar, padahal kamu adalah orang-orang yang lemah. Karena itu bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya.” [QS. Ali-Imran (3) : 123]
17 Ramadhan tahun ke-2 Hijriah. Kaum muslimin sedang melaksanakan ibadah puasa. Hari-hari itu, Madinah sedang diliputi ketegangan juga. Bagaimana tidak? Rasulullah saw baru saja mengumumkan kaum Muslimin untuk berperang. Perang Badar. Badar adalah nama sumur yang terletak sekitar 120 Km di barat daya Madinah. Dalam perang ini, jumlah pasukan musyrikin adalah 920 orang, sementara pasukan muslim hanya sebanyak 313 dengan senjata dan peralatan yang sangat terbatas.
Ketika Rasulullah saw memanggil kaum Muslimin yang mampu berperang untuk terjun ke gelanggang perang Badar, terjadi dialog menarik antara Saad bin Khaitsamah dengan Ayahnya yakni Khaitsamah.
Dalam masa-masa itu, panggilan perang seperti itu memang tidak terlalu menghairankan. Kaum Muslimin sudah tidak merasa aneh atau gentar lagi bila dipanggil untuk membela agama Allah dan Jihad fi Sabilillah. Sebab itu Saad berkata kepada Anaknya, "Wahai anakku, aku akan keluar untuk berperang dan kau tinggal di rumah menjaga wanita dan anak-anak."
Memang di rumah itu hanya ada dua orang lelaki saja. Saad dan Khaitsamah. Seperti diketahui, semua lelaki dewasa tanpa uzur diwajibkan berperang. Lagipula, di dada setiap Muslim ketika itu bergelora untuk selalu membela panji-panji Allah. Maka tidak hairan, ketika mendengar perintah ayahnya sedemikian rupa, Saad langsung menjawab,"Wahai ayahku, demi Allah, janganlah berbuat seperti itu. Karena keinginanku untuk memerangi mereka lebih besar daripada keinginanmu. Engkau telah tua dan tidak lagi diwajibkan berperang. Malah harus tinggal di rumah. Maka izinkanlah aku keluar dan tinggallah engkau di sini, wahai Ayahku."
Khaitsamah marah dan berkata kepada anaknya, "Kau membangkang dan tidak menaati perintahku."
Saad tertunduk. Dalam hatinya tidak sama sekali ia ingin membantah Ayahnya dalam urusan apapun. Maka ia pun menjawab, "Allah mewajibkan aku berjihad dan Rasulullah memanggilku untuk berangkat berperang. Sedangkan engkau meminta sesuatu yang lain padaku, sehingga bagaimana engkau rela melihat aku taat padamu tetapi aku menentang Allah dan Rasulullah."
Khaitsamah sekarang yang merenung. Ia berpikir keras. Jika keduanya berangkat berperang, maka siapa yang akan menjaga keluarga mereka? "Wahai anakku,” ujarnya, “Apabila ada antara kita harus ada yang berangkat satu orang baik kau ataupun aku, maka dahulukan aku untuk berangkat."
"Demi Allah wahai ayahku, kalau bukan masalah Syurga, maka aku akan mendahulukanmu." Jawab Saad.
Tampaknya kedua lelaki itu tidak bisa menemukan pemecahan permasalahan itu. Mereka tampaknya tidak rela jika harus tinggal di rumah. Akhirnya setelah disetujui diputuskanlah melalui undian antara dia dan anaknya sehingga terasa lebih adil.
Ternyata, hasil undian menunjukkan bahwa sang anak, Saad-lah yang harus turun ke medan perang. Dia pun turun ke medan Badar. Tetapi belum lama, ia ternyata syahid. Setelah Saad syahid, ternyata Khaitsamah memutuskan untuk berangkat menuju medan pertempuran.
Ketika hal itu diketahui oleh Rasulullah saw, Rasulullah saw tidak mengizinkannya. Hanya saja Rasulullah saw akhirnya mengizinkannya setelah Khaitsamah berkata sambil menangis, "Wahai Rasulullah, aku ingin sekali terjun dalam perang Badar. Lantaran inginnya aku harus mengadakan undian dengan anakku. Tetapi itu dimenangkannya sehingga dia mendapat syahid. Kelmarin aku bermimpi dan di dalamnya anakku itu berkata kepadaku, ‘Engkau harus menemani kami di Surga, dan aku telah menerima janji Allah.’ Wahai Rasulullah, demi Allah, aku rindu untuk menemaninya di Surga. Usiaku telah lanjut dan aku ingin berjumpa dengan Tuhanku."
Setelah mendengar hal itu, akhirnya Rasulullah saw pun mengizinkannya. Khaitsamah bertempur hingga syahid dan insya Allah akan berjumpa dengan anaknya di Syurga.
Kedua anak beranak itu telah menunjukkan kepada dunia bahwa ketika menjalani ibadah puasa pun mereka tetap menjalani aktiviti lainnya, sekalipun berjihad di medan perang.

LinkWithin

Related Posts with Thumbnails

terima kasih dariku...

Tajuk-tajuk saya

Menyentuh Hati-Peristiwa Almarhum Ustaz Fadhil Noor

Syuhada Chechen. Mereka telah memilih Syahid.